JATIMTIMES - Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Prof. Dr. Haedar Nashir, M.Si, mengingatkan pentingnya kedewasaan dan tanggung jawab moral di tengah kebebasan berekspresi yang kian terbuka. Seruan itu disampaikannya menanggapi kontroversi yang melibatkan salah satu program di Trans7 yang menyinggung kiai, pesantren dan para santri.
Menurut Haedar, setiap warga negara memiliki hak untuk menyampaikan pandangan. Namun, kebebasan itu tak boleh dijalankan tanpa kendali. “Kita hidup dalam masyarakat yang majemuk, penuh keragaman agama, budaya, dan pandangan hidup. Karena itu, ekspresi publik tidak bisa dijalankan sesuka hati,” ujarnya saat diwawancarai di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Kamis, (16/10/2025).
Baca Juga : Ratusan Rektor PTMA Kumpul di UMM, Teguhkan Kolaborasi Pendidikan Menuju Indonesia Emas
Haedar menilai, peristiwa seperti ini semestinya menjadi cermin untuk semua pihak agar lebih memahami makna tenggang rasa dan penghormatan terhadap sesama. Ia menegaskan, bangsa Indonesia dibangun di atas fondasi Bhinneka Tunggal Ika, sebuah prinsip yang menuntut keseimbangan antara kebebasan dan tanggung jawab.
“Yang penting, semua pihak belajar menghargai. Ada batas dalam berekspresi, tapi juga lembaga-lembaga kemasyarakatan dan keagamaan harus terus memperbaiki diri agar tetap dipercaya masyarakat,” jelasnya.
Haedar menyebut, polemik semacam ini tak perlu diselesaikan dengan amarah atau saling menyalahkan. Menurutnya, justru di saat-saat genting seperti inilah karakter bangsa Indonesia yang damai dan toleran sedang diuji. “Kalau ada masalah, diselesaikanlah dengan cara yang baik, tanpa menjatuhkan pihak lain,” katanya.
Ia mengingatkan, media sosial kini sering menjadi pemantik panasnya perdebatan. Dalam pandangannya, ruang digital semestinya menjadi wadah untuk memperkuat persaudaraan, bukan ladang perpecahan. “Kalau ada masalah, media sosial jangan justru memperkeruh suasana. Istilahnya, jangan sampai ‘ikannya tidak dapat, tapi kolamnya jadi keruh’,” ungkapnya dengan perumpamaan khas.
Haedar juga menyoroti perlunya semua elemen bangsa, baik lembaga pemerintah, organisasi keagamaan, maupun masyarakat sipil, untuk introspeksi dan berbenah. Ia menyebut bahwa kepercayaan publik lahir dari konsistensi lembaga dalam bersikap terbuka, adil, dan beretika. “Kalau lembaga keagamaan mau dipercaya, ya harus meningkatkan kualitas dan memberi sumbangan nyata bagi bangsa,” ujarnya.
Baca Juga : Pelaku Mutilasi Teman Kerja di Jombang Dapat Vonis Penjara Seumur Hidup
Lebih jauh, Haedar mengajak umat beragama menjadi teladan moral dan sosial, bukan hanya di lingkup internal umat, tetapi juga dalam kehidupan berbangsa. “Umat beragama seharusnya menjadi contoh kedewasaan. Jangan reaktif berlebihan, tapi jadikan setiap peristiwa sebagai pembelajaran bersama,” tambahnya.
Ia menegaskan, masalah seperti ini bukan akhir dari segalanya, melainkan peluang untuk memperkuat nilai-nilai luhur bangsa. “Masalah pasti akan selalu ada dalam kehidupan kebangsaan. Yang terpenting adalah bagaimana kita menyelesaikannya secara dewasa, dengan tetap menjaga koridor hukum dan moral,” tegasnya.
Haedar menutup dengan pesan bernada damai: Indonesia akan tetap berdiri kuat jika masyarakatnya mampu menahan ego dan mengedepankan dialog. “Kalau semuanya mau saling menghormati, introspeksi, dan memperbaiki diri, maka bangsa ini akan semakin matang dalam berdemokrasi,” pungkasnya.